POKOK PEGANGAN DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

 POKOK PEGANGAN DALAM MENAFSIRKAN AL-QUR’AN

Oleh: Steven sahid


Al-Qur’an menjadi salah satu mukjizat besar Nabi Muhammad SAW, sebab turunnya Al Qur’an melalui perantara beliau, AL Qur’an mempunyai peranan yang sangat penting untuk keberlangsungan umat manusia di Dunia. Betapa tidak, semua persoalan manusia di dunia sebagian besar dapat ditemukan jawabannya pada Al Qur’an. Oleh karenannya kemudian Al Qur’an di yakini sebagai firman Allah yang menjadi sumber hukum Islam pertama sebelum Hadist. Maka kita harus mengetahui tentang pokok-pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an, agar kita tidak salah dalam menafsirkannya.

A. Pokok pegangan dalam menafsirkan Al-Qur'an adalah :

a) Hadits dan Atsar
b) Qaidah-qaidah bahasa Arab dan uslub-uslubnya.

Seseorang yang hendak menafsirkan sesuatu ayat Al-Qur'an, hendaklah ia mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Qur'an sendiri. Karena seringkali ayat-ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat ditempat lain. Yakni hendaklah Ayat itu lebih dahulu ditafsirkan dengan ayat Al-Qur'an sendiri. Jika tidak ada baru diperiksa As Sunnah atau Al Hadits. Jika tidak ada lagi baru dicari dalam keterangan dari para sahabat, karena mereka lebih mengetahui maksud-maksud ayat, lantaran mereka mendengar sendiri dari Rasul dan mempersaksikan sebab-sebab nuzulnya ayat, suasana yang mengelilingi turunya ayat.
Kata Ibnu Tamiyah: “wajib kita yakini, bahwa Nabi SAW, telah menerangkan kepada para sahabat makna-makna Al-qur’an”.
Para sahabat mengetahui benar-benar bahasa arab. Mudah benar bagi mereka memahami Al-qur’an. Mereka tidak berhajat kepada tafsir orang lain.
Kata Az Zakarsyi : “ Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur'an, hendaklah lebih dahulu memahami riwayat, lalu mengambil mana yang shahihnya. Sesudah itu hendaklah ia memeriksa perkataan sahabat. Kemudia dari itu barulah ia berpegang kepada ilmu bahasa dan barulah ia menafsirkan menurut makna-makna yang dikehendaki oleh ilmu bahasa itu“
Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana kita berpedoman dalam menfsirkan Al- qur’an, perhatikanlah uraian Al Hafidh ‘Imaduddin Abdul Fida’ Isma’il Ibn Katsir Al Quraisy Ad Dimasqy dalam tafsirnya, ujarnya: “jika seseorang berkata: Mana jalan tafsir yang paling bagus? Saya menjawab: “jalan yang paling sah ditempuh, ialah mentafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an. Karena apa yang diijmalkan di suatu tempat, telah dijelaskan di tempat lain. Jika kita tidak memperolehnya, hendaklah kita mencari As sunnah. Karena As sunnah itu pensyarah Al-Qur’an dan penjelasannya”.
Imam Asy Syafi’i berkata: “Tiap sesuatu hukum yang ditetapkan Rasulullah, beliau pahami dari Al-qur’an”.
Allah SWT, berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada engkau Al kitab dengan sebenarnya supaya engkau menetapkan antara manusia dengan apa yang Allah perlihatkan kepada engkau dan janganlah engkau jadi penantang untuk kepentingan kaum penghianat.”( S.16: An Nisa’,105 ).
Dan firman Allah lagi:
“Dan telah kami turunkan Adz Dzikir kepada mereka supaya engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berfikir.”( S.16:An Nahl,44).
Dan Allah berfirman lagi:
“Dan tiada Kami turunkan Al kitab kepada engkau melainkan supaya engkau menerangkan kepada mereka soal-soal yang mereka perselisihkan dan untuk menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”(S.4: An Nahl,64).
Oleh karena itulah Nabi SAW bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya telah diberikan kepadaKu Al-qur’an dan diberikan besertanya yang menyerupainya (yakni As sunnah).”
Ringkasnya, hendaklah kita mencari tafsir Al-qur’an dari Al-qur’an sendiri. Jika kita tidak mendapatkannya dari Al-qur’an sendiri, carilah dalam As sunnah. Urutan ini ditegaskan oleh hadist Mu’adz, yaitu: ketika Rasul mengutus Mu’adz pergi ke Yaman, Beliau bertanya:” Maka dengan apakah engkau memutuskan suatu perkara”.
Mu’adz menjawab:”Dengan Kitab Allah SWT”
Nabi bertanya:”Jika engkau tidak menjumpainya (di dalam Kitab Allah)?”
Mu’adz menjawab:”Dengan sunnah Rasulullah.”
Nabi bertanya lagi:”Jika engkau tidak menjumpainya (di dalam sunnah)?”
Mu’adz menjawab:”Saya menjalankan ijtihad saya sendiri.”
Mendengar  jawaban itu Rasulullah menepuk Mu’adz seraya berkata:”Segala puji kepunyaan Allah yang telah mentaufikkan utusan Rasulullah kepada yang menyenangkan rasulullah sendiri.”
Karena itu apabila kita tidak memperoleh tafsiran dari Al-qur’an dan di dalam As sunnah, kembalilah kita kepada pendapat-pendapat sahabat karena mereka lebih mengetahuinya karena mereka menyaksikan sendiri dan karena mereka mempunyai paham yang  sempurna, mempunyai ilmu yang shahih, terutama ulama-ulama sahabat dan pembesar-pembesarnya, seperti khulafaur Rasyidin dan Abdullah ibn Mas’ud.
Imam Ibnu Jarir berkata: diceritakan kepadaku oleh Abu Kuraib dan Masruq, ujarnya: Kata Abdullah ibn Mas’ud:
“Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, tiada turun sesuatu ayat Al-qur’an melainkan aku mengetahinya terhadap siapa diturunkan dan di mana diturunkannya. Sekiranya aku mengetahui ada seseorang yang lebih pandai tentang Kitabullah dari pada aku yang dapat didatangi dengan mengendarai kendaraan, niscayalah aku mengunjunginya.”
Kata Al- A’masy dari Abi Wa-il dari Ibnu Mas’ud, ujarnya:
“Seseorang di antara kami apabila telah mempelajari 10 ayat, tidak melampauinya sehingga ia mengetahui makna-makna ayat, dan mengerjakan maksudnya.”
Kata Al Imam Ibnu Taimiyah dalam muqaddimah Ushulit Tafsir.
“Apabila engkau tidak mendapati tafsir dalam Al-qur’an, As sunnah dan tidak mendapati tafsir sahabat, maka kembalikan kepada para tabi’in.”

B. Pengertian hadist dan atsar

1. Pengertian hadist.

Hadits menurut bahasa  yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat, Hadits juga berarti berita, yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.
Hadist menurut istilah adalah “Segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuataan maupun ketetapannya”

2. Pengertian atsar

Dari segi bahasa atsar adalah peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan  Nabi Muhammad SAW, karena hadis itu peninggalan Beliau.
Menurut istilah ada dua pendapat, pertama atsar merupakan sinonim hadis, kedua atsar merupakan suatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, baik perkataan mapun perbuatan.


C. Mengetahui qaidah-qaidah bahasa Arab dan uslub-uslubnya

Seseorang yang hendak menafsirkan sesuatu ayat Al-Qur'an tentu memerlukan atau mungkin harus mengetahui qaidah-qaidah bahasa Arab dan uslub-uslubnya yang berupa ilmu nahwu, ilmu sorof, dan ilmu balagoh. Bagaimana mungkin biasa memakai Al-qur;an tanpa memahami perbedaan kata dan suku kalimat. Hal itu karena Al-qur’an diturunkan sesuai dengan aturan-aturan dalam bahasa arab. Jika tidak memiliki pengetahuan tentang gambaran umum dari aturan-aturan bahasa arab, maka niscaya tidak akan mampu menguasai makna-makna yang terkandung dalam Al-qur’an.
Imam malik pernah berkata:” Seseorang yang tidak mengerti bahasa arab datang padaku untuk menafsirkan Al-qur’an, maka kubuat dia mencabut perkataanya.”
Karena bila lafal bahasa arab tidak selaras dengan maknanya, maka tidak bisa dikatakan benar.

KESIMPULAN

Kita sebagai umat Islam sudah waktunya untuk kembali kepada ajaran-ajaran Rasulullah SAW dan teladan para sahabat dan para tabi'in dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an. Dengan mengembalikan tujuan penafsiran pada jalur yang benar bukan berdasarkan keegoan intelektual semata. Umat Islam harus berani untuk menujukkan jati dirinya dengan segala pemikiran-pemikiran dan amal perbuatannya yang tetap konsisten terhadap aturan Sang Pencipta dan Rasul-Nya dalam menyikapi pemahaman dan pengamalan atas Al-Qur'an.

B.     SARAN

Ayat-ayat Al Qur’an yang sangat banyak ini sejatinya dapat menjawab semua persoalan yang terjadi pada masyarakat. Namun kesan yang ada pada saat ini seakan-akan ayat Al Qur’an masih mengandung misteri sehingga belum mampu menjawab semua persoalan yang ada. Kesan dan pemahaman yang keliru ini adalah akibat dari ”miskin”nya cara, memahami dan menafsirkan ayat Al Qur’an. Maka dari itu kita harus mengetahui pokok-pokok pegangan dalam menafsirkan Al-Qur'an.


DAFTAR PUSTAKA


Ash-Shiddieqqy, Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-qur’an, Bulan Bintang, Jakarta: 1994.
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rofi’I, Ulum Al-qur’an I, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al Qur’an: Pustaka Pelajar, , Yogyakarta, 2002.

Bagikan ke

300x250

0 Response

© 2013 Steven sahid - All Rights Reserved
Back to Top