ALIRAN MURJI’AH
Oleh:
Muhammad Noor Sahid
Oleh:
Muhammad Noor Sahid
LATAR BELAKANG MASALAH
Sikap saling mengkafirkan dari syi’ah dan Khawarij terhadap golongan lain menyebabkan tumbuhnya golongan lain yang dibentuk oleh beberapa sahabat Nabi sendiri yaitu golongan Murji’ah, mereka benci terhadap pertikaian dan pertentangan yang diwarnai oleh saling mengkafirkan antara satu sama lainnya. kemudian mereka membuat langkah-langkah tersendiri yang bersifat netral, tidak memihak kepada salah satu golongan manapun. Supaya kita lebih tahu tentang aliran Murji’ah, maka dirasa perlu bagi kita membahas tentang aliran Murji’ah.
SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN MURJI’AH
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah.[1] Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a bermakna juga memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan Rahmat Allah. Selain itu, arja’a juga berarti meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengutamakan iman dari pada amal. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak di hari kiamat.[2]
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.[3]
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Tholib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 M. Dengan gerakan politik tersebut Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah.[4]
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan Arbitrase (Tahkim) atas usulan Amr bin Ash (kaki tangan Muawiyah). Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali disebut Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an atau dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak.[5]
Adapun secara istilah, murjiah adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang.[6]
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat As-Samman, dan Tsauban Dliror bin 'Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayah ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.[7]
AJARAN POKOK ALIRAN MURJI’AH
1. Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasan hal ini seseorang tetep dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melekukan dosa besar.
Amin menerangkan:[8]
“kebanyakan aliran Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja, atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa, dan sebagainya, itu bukan bagian dari pada iman.”
2. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan atas seseorang. Untuk mendatangkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[9]
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, Yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain, selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang. Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam, tetapi kalau hatinya iman, aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin.
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh Murji’ah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hokum bagi orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah ”Murji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja’” yang berarti “menangguhkan”.[10]
I’tiqad murji’ah
a. Sudah mengetahui dalam hati atas wujudnya tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasulNya maka menjadi otomatis mukmin, walaupun mengucapkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina nabi, menghina al-qur’an dan lain sebagainya.
b. Golongan murji’ah juga mengatakan, bahwa orang mukmin yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya pada rasul-rasul maka ia adalah mukmin walaupun dia mengerjakan segala macam dosa besar ataupun dosa kecil. Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa kalau sudah ada iman dalam hati, sebagai keadaannya perbuatan baik tak ada gunanya kalau sudah ada kekafiran didalam hati.
c. Orang yang telah beriman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi murji’ah orang ini masih mukmin.
d. I’tiqad menangguhkan dari kaum murji’ah, yaitu menangguhkan orang yang bersalah sampai kemuka tuhan sampai hari kiamat, hal ini ditentang oleh kaum ahlussunnah wal jama’ah karena setiap orang yang salah harus dihukum didunia ini.
e. Kalau kita ikuti faham golongan murji’ah ini maka ayat-ayat hukum seperti menghukum pencuri dengan memotong tangan, menghukum rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafart dan lain-lain yang banyak tersebut dalam Qur’an tidak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
C. SEKTE-SEKTE ALIRAN MURJI’AH
Kemunculan sekte-sekte aliran Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya- antara lain- adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.[11] Oleh karena itulah, Ash-Syahrastani, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:[12]
a. Murji’ah Khawarij, mereka adalah Syabibiyyah (pengikut Muhammad bin Syabib) dan sebagian kelompok Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar.
b. Murji’ah Qadariyah, mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah
c. Murji’ah Jabariyah, mereka adalah Jahmiyyah (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja. Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
d. Murji’ah Murni, mereka adalah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
e. Murji’ah Sunni, mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:[13]
a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalihi
c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus as-Samary
d. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus
e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
g. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’man
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijistany
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiqun bil qolbi dan iqrorun bil lisan. Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan lidah saja, maka tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. jadi pendosa besar menurut mereka tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah maka tidak masuk neraka sama sekali. Iman ini tidak bertambah dan tidak berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadist.[14]
Murji’ah ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiqun bil qolbi faqoth) bahwa orang islam yang menyatakan iman kepada Tuhan kemudian berkata kufur secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati bukan yang lain. Kemudian shalat, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan, bukan ibadah, karena yang disebut ibadah ialah iman.[15]
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-jahmiyah, pengikut jahm ibnu sofwan. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia,tetapi dalam hati sanubari.
b. Al-shalihiyah, pengikut abu al-hasan al-shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. Karena yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan.
c. Al-Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugian orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau tempat lain.”
D. PENGARUH ALIRAN MURJI’AH
Pengaru negatif dari aliran ini adalah:
1. Aliran Murji’ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
2. Aliran Murji’ah menyamakan antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan.
3. Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar.
4. Munculnya pemikiran Murji’ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah.
5. Pemikiran Murji’ah membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi min-zhalik.
Pengaruh positif aliran ini salah satunya yaitu golongan ini memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT.
Demikian pengaruh-pengaruh aliran Murji`ah. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
A. KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan bahwa aliran Murji’ah yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang. Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak.
B. SARAN
Kami menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas tentang aliran Murji’ah yang belum bisa kami bahas pada makalah kami ini. Demikian sajian makalah ini mudah-mudahan apa yang kami uraikan pada makalah ini bisa memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini pasti masih banyak kekurangan, Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam, Universitas Indonesia, Jakarta: 1972.
Rozak, Abdul, Prof. Dr, dan. Anwar, Rosihon, Prof. Dr., Ilmu kalam, Pustaka setia, Bandung: 2001.
Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.
Rahim, Husni, Dr.H.,Sejarah Kebudayaan Islam,Departemen Agama RI,Jakarta:1999.
[1] Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.hlm.162.
[2] Cyril Glasse. The Concise Encyclopedia Of Islam. Staccny International, London, 1989.hlm,288-9:Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam,1990.hlm.633-6:Ahmad Amin, Fajrul Islam. Jilid I. Islam. Ej Srill,Leiden, 1961,hlm.412.
[3] Lihat W.Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology:An Extended Survey.At Univ,Press, Eidenburgh, 1987.hlm 23.Departemen Agama RI.op.cit. hlm 633.
[4] Gibb and J.H. Krammers.loc.cit.
[5] Watt.op.cit.hlm.21.
[6] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bamdung: Pustaka Setia, 2001)hlm. 56.
[7] Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.hlm.152.
[8] Amin,Dluha,Juz III, hlm.316.
[9] Dr.Abdul rozak, M.Ag, dan Dr Rosihon, M.Ag., ilmu kalam. Pastaka setia. Bandung.2001.
[10] Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.hlm.154.
[11] Watt,Early Islam, hlm.181.
[12] Ibid,hlm.23.
[13] Muhammad Imarah,Tayyarat Al-Fikr Al-Islamy,dan Asy-Syuruq,Kairo-Beirut,1991,hlm.33-4.
[14] Nasution, Teologi…….hlm.24.
[15] Hrun Nasution, Teologi Islam, JAKARTA, Universitas Indonesia, 1972, hal. 26-32
1. Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasan hal ini seseorang tetep dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melekukan dosa besar.
Amin menerangkan:[8]
“kebanyakan aliran Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja, atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa, dan sebagainya, itu bukan bagian dari pada iman.”
2. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan atas seseorang. Untuk mendatangkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[9]
Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, Yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain, selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang. Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam, tetapi kalau hatinya iman, aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin.
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajiban-kewajiban, atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh Murji’ah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hokum bagi orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah ”Murji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja’” yang berarti “menangguhkan”.[10]
I’tiqad murji’ah
a. Sudah mengetahui dalam hati atas wujudnya tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasulNya maka menjadi otomatis mukmin, walaupun mengucapkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina nabi, menghina al-qur’an dan lain sebagainya.
b. Golongan murji’ah juga mengatakan, bahwa orang mukmin yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya pada rasul-rasul maka ia adalah mukmin walaupun dia mengerjakan segala macam dosa besar ataupun dosa kecil. Dosa bagi kaum murji’ah tidak apa-apa kalau sudah ada iman dalam hati, sebagai keadaannya perbuatan baik tak ada gunanya kalau sudah ada kekafiran didalam hati.
c. Orang yang telah beriman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi murji’ah orang ini masih mukmin.
d. I’tiqad menangguhkan dari kaum murji’ah, yaitu menangguhkan orang yang bersalah sampai kemuka tuhan sampai hari kiamat, hal ini ditentang oleh kaum ahlussunnah wal jama’ah karena setiap orang yang salah harus dihukum didunia ini.
e. Kalau kita ikuti faham golongan murji’ah ini maka ayat-ayat hukum seperti menghukum pencuri dengan memotong tangan, menghukum rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafart dan lain-lain yang banyak tersebut dalam Qur’an tidak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
C. SEKTE-SEKTE ALIRAN MURJI’AH
Kemunculan sekte-sekte aliran Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya- antara lain- adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.[11] Oleh karena itulah, Ash-Syahrastani, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:[12]
a. Murji’ah Khawarij, mereka adalah Syabibiyyah (pengikut Muhammad bin Syabib) dan sebagian kelompok Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar.
b. Murji’ah Qadariyah, mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah
c. Murji’ah Jabariyah, mereka adalah Jahmiyyah (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja. Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
d. Murji’ah Murni, mereka adalah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
e. Murji’ah Sunni, mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:[13]
a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalihi
c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus as-Samary
d. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus
e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
g. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’man
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijistany
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiqun bil qolbi dan iqrorun bil lisan. Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan lidah saja, maka tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. jadi pendosa besar menurut mereka tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah maka tidak masuk neraka sama sekali. Iman ini tidak bertambah dan tidak berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadist.[14]
Murji’ah ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiqun bil qolbi faqoth) bahwa orang islam yang menyatakan iman kepada Tuhan kemudian berkata kufur secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati bukan yang lain. Kemudian shalat, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan, bukan ibadah, karena yang disebut ibadah ialah iman.[15]
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-jahmiyah, pengikut jahm ibnu sofwan. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia,tetapi dalam hati sanubari.
b. Al-shalihiyah, pengikut abu al-hasan al-shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. Karena yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan.
c. Al-Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugian orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau tempat lain.”
D. PENGARUH ALIRAN MURJI’AH
Pengaru negatif dari aliran ini adalah:
1. Aliran Murji’ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya.
2. Aliran Murji’ah menyamakan antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan.
3. Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar.
4. Munculnya pemikiran Murji’ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah.
5. Pemikiran Murji’ah membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi min-zhalik.
Pengaruh positif aliran ini salah satunya yaitu golongan ini memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT.
Demikian pengaruh-pengaruh aliran Murji`ah. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
A. KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan bahwa aliran Murji’ah yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang. Jika seseorang masih beriman, berarti dia tetap mukmin, bukan kafir walaupun ia melakukan dosa besar. Karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan diampuni atau tidak.
B. SARAN
Kami menghimbau kepada teman-teman seperjuangan untuk mencari lebih luas tentang aliran Murji’ah yang belum bisa kami bahas pada makalah kami ini. Demikian sajian makalah ini mudah-mudahan apa yang kami uraikan pada makalah ini bisa memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini. Dalam pembuatan makalah ini pasti masih banyak kekurangan, Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan pada penulisan karya ilmiah mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam, Universitas Indonesia, Jakarta: 1972.
Rozak, Abdul, Prof. Dr, dan. Anwar, Rosihon, Prof. Dr., Ilmu kalam, Pustaka setia, Bandung: 2001.
Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.
Rahim, Husni, Dr.H.,Sejarah Kebudayaan Islam,Departemen Agama RI,Jakarta:1999.
[1] Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.hlm.162.
[2] Cyril Glasse. The Concise Encyclopedia Of Islam. Staccny International, London, 1989.hlm,288-9:Departemen Agama RI. Ensiklopedi Islam,1990.hlm.633-6:Ahmad Amin, Fajrul Islam. Jilid I. Islam. Ej Srill,Leiden, 1961,hlm.412.
[3] Lihat W.Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology:An Extended Survey.At Univ,Press, Eidenburgh, 1987.hlm 23.Departemen Agama RI.op.cit. hlm 633.
[4] Gibb and J.H. Krammers.loc.cit.
[5] Watt.op.cit.hlm.21.
[6] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bamdung: Pustaka Setia, 2001)hlm. 56.
[7] Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.hlm.152.
[8] Amin,Dluha,Juz III, hlm.316.
[9] Dr.Abdul rozak, M.Ag, dan Dr Rosihon, M.Ag., ilmu kalam. Pastaka setia. Bandung.2001.
[10] Nasir, Sahilun A, Prof. Dr. K.H.,Pemikiran Kalam(Teologi Islam),Rajawali pers, Jakarta: 2010.hlm.154.
[11] Watt,Early Islam, hlm.181.
[12] Ibid,hlm.23.
[13] Muhammad Imarah,Tayyarat Al-Fikr Al-Islamy,dan Asy-Syuruq,Kairo-Beirut,1991,hlm.33-4.
[14] Nasution, Teologi…….hlm.24.
[15] Hrun Nasution, Teologi Islam, JAKARTA, Universitas Indonesia, 1972, hal. 26-32
thanks
BalasHapusbagus makalahnya...makasih
BalasHapus