KEDUDUKAN QOUL DAN MANHAJ DALAM ASWAJA



KEDUDUKAN QOUL DAN MANHAJ DALAM ASWAJA

Oleh:
Muhammad  Noor  Sahid
A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam mengambil keputusan hukum terhadap persoalan yang berkembang, Nahdlatul Ulama’ mendasarkan pada dasar-dasar agama yang telah disepakati kebenarannya. Setiap persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan tata cara dan sumber-sumber agama. Tidak ada satu masalah pun yang tidak dapat dipecahkan dengan mendasarkan hukum-hukum agama. Dasar-dasar pengambilan hukum itu adalah Al-qur’an, Al-hadis, Ijma’ dan Qiyas.

Al-qur’an dan Al-hadis telah disepakati menjadi dua sumber hukum islam yang utama. Tidak ada satu ulama’ atau golongan pun yang menolak keberadaan kedua sumber hukum tersebut. Sementara itu, dalam hal pengambilan dasar hukum ijma’ dan qiyas, Nahdlatul Ulama’ melaksanakan dengan cara merujuk kepada pendapat-pendapat yang disebut dalam kitab-kitab yang telah diakui kebenarannya atau lebih dikenal dengan kitab “mu’tabarah” khususnya dan empat madzab yang terkenal yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’I, Imam Ahmad Ibn Hambal.

Meskipun Nahdlatul Ulama’ mengakui keberadaan empat madzhab fiqih tersebut, namun dalam kenyataannya forum pembahasan masalah-masalah yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama’ banyak menggunakan rujukan bermadzab Syafi’i. Keterbatasan pemahaman yang berorientasi Syafi’iyah  ini sering berhadapan dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi. Akibatnya para ulama’ NU mulai berfikir terbuka bahwa saat ini diperlukan sebuah metode dan dasar pengambilan hukum yang tidak terbatas dari madzab Syafi’i. Maka, melalui beberapa diskusi dan pembahasan diperkenalkan sebuah metode istinbat baru yang disebut metode manhaj.

Landasan Teori

Dari Abdullah bin Umar r.a. : Sesunguhnya Nabi SAW ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Negeri Yaman untuk menjabat Gubernur Yaman, beliau berkata: Apa yang akan engkau perbuat bila dihadapkan kepadamu sesuatu urusan atau ketentuan Hukum? Menjawab Mu’adz: Aku akan berhukum dengan Kitabullah (Alquran), kemudian nabi bertanya: Bagaimana kalau tidak ada dalam Kitabullah? Lalu Mu’adz menjawab: saya akan berhukum dengan Sunnah Rasul (Hadis). Kemudian nabi bertanya lagi: Bagaimana kalau tidak ada dalam sunnah Rasul? Kemudian Mu’adz  menjawab: Saya akan berijtihad dengan rumusan pikiran saya yang tidak keluar dasarnya dari Quran dan Hadis. Berkata Mu’adz: Maka Rasul menepuk dada saya seraya berkata: Alhamdulillah sungguh tepat pendapat utusan itu sesuai dengan Rasulluah kepada yang diridhainya.

A.    Pengertian Qoul.

Qoul memurut arti bahasa ialah kalam, kalim,  atau pendapat. Sedangkan menurut istilah ialah cara pengambilan ketetapan hukum didasarkan pada pendapat imam madzab yang sudah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.

B.     Macam-Macam Qaul dalam Madzhab

1.       Qaul Qadim

Yaitu perkataan lama Imam Syafi’I yang berdasarkan kajiannya dari sumber Alqur’an, Hadits Nabi, atau nash-nash yang lain, yang pernah dikeluarkan

sewaktu beliau menetap di Baghdad pada zaman pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid

2.      Qaul Jadid

Yaitu perkataan baru Imam Syafi’I yang dikeluarkan di Mesir setelah dikaji semula semua qaul-qaul beliau yang lama sewaktu di Baghdad (qaul qodim). Dalam penetapan Ashhab Syafi’I, ulama Syafi’iyyah, bahwa qaul jadid (perkataan yang baru) itulah yang lebih kuat untuk diikuti dalam fatwa hukum-hukum agama.

3.       Qaul Shahih

Yaitu perkataaan yang benar/kuat (lawannya adalah qaul dhaif) yang diputuskan oleh para Ashhab Syafi’I setelah membandingkan antara beberapa wajah yang ada.

4.       Qaul Ashah

Yaitu perkataan yang “lebih dibenarkan/dikuatkan” dari kata-kata yang ada (lawannya adalah qaul qawi), apabila bertemu semua kata-kata ini, maka yang dipegang ialah qaul yang ashah.

5.      Qaul Azhhar

Yaitu perkataan yang diunggulkan dari segi pertimbangan para Ashhab Syafi’I (lawannya juga qaul dhaif)

6.       Qaul Rajih

Yaitu kata yang diberatkan dari beberapa perkataan Imam Syafi’i menurut pandangan para Ashhab. Apabila bertemu beberapa qaul yang diberatkan para ulama, mereka sering men-tarjihkan satu diantaranya yang dinamakan qaul arjah, yiatu kata yang diberatkan, yang kemudian dianggap sebadai qaul mu’tamad, yakni qaul yang dipegang.

7.      Qaul Dhaif

Yaitu perkataan lemah yang tidak boleh dijadikan hujjah atau difatwakan.

8.      Qaul Syaz

Yaitu perkataan yang luar biasa atau langka, yang tidak boleh digunakan sebagai sandaran hukum.

9.       Qaul Masyhur

Yaitu perkataan yang tersebar di antara beberapa qaul.

C.   Perbedaan qaul qadim dan qaul jadid

Pergeseran paradigma pemahaman keagamaan dan perilaku keberagamaan al-Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid. bukanlah wacana keagamaan historis yang tanpa makna. Secara regeneratif, pergeseran paradigma itu telah mengilhami munculnya model pemahaman keagamaan bercorak kritis-transformatif. Suatu corak pemahaman keagamaan yang tidak hanya memahami agama dari dimensi internal dunia makna yang telah berhasil dikonstruk oleh beberapa ulama klasik, melainkan ingin mengetahui lebih jauh karir sosial dan proses sosial yang melingkupi terbentuknya nalar keagamaan mereka.

Pola pergeseran pemahaman keagamaan al-Syafi’i sebagaimana tersebut di atas menginspirasikan bahwa watak khas semua pemikiran hukum, tidaklah hampa dari ruang sejarah, kebal terhadap kritik, melainkan terbuka dari berbagai kemungkinan kritik yang ada. Pada sisi lain perubahan madzhab al-Syafi’i juga menggambarkan bahwa watak pemikiran hukum Islam pada hakikatnya bersifat dinamis, inklusif, adaptif. Diantara perbedaan dalam masalah hukum sebagai berikut:

1.      Hukum air musta’mal untuk bersuci yang wajib.

Qaul Qadim: Air mustakmal hukumnya suci lagi menyucikan.

Qaul Jadid: Air mustakmal hukumnya suci tetapi tidak dapat menyucikan.

2.      Hukum wudhu bagi orang yang menyentuh dubur manusia.

Qaul Qadim: Tidak membatalkan wudhu.

Qaul Jadid: Wudlunya batal.

3.      Tidak mengetahui atau terlupa membersihkan najis pada pakaian ketika shalat.

Qaul Qadim: Shalatnya sah.

Qaul Jadid: Shalat tidak sah dan wajib mengulang.

4.      Lupa membaca surat al-Fatihah dalam shalat.

Qaul Qadim: Shalatnya sah.

Qaul Jadid: Shalatnya tidak sah.

5.      Makmum yang membaca amin

Qaul Qadim: Makmum dianjurkan membaca amin dengan keras ( jahar ).

Qaul Jadid: Makmum tidak perlu membaca amin dengan keras.

D.    1. Pengertian Manhaj

Manhaj meurut arti bahasa ialah jalan yang jelas, terang dan dikatakan juga (mengikuti) jalan yang lurus atau mengikuti sunnah.

Allah SWT berfirman:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang……”( Al Ma’idah; 48).

Makna Istilah

Ada beberapa definisi manhaj menurut pengertian istilah, antara lain: Manhaj ialah cara pengambilan ketetapan hukum dengan mengikuti jalan pikiran, kaidah atau metodologi yang dianut oleh seorang imam madzab.

Adapun di dalam pembahasan ini, yang dimaksud manhaj adalah cara ( metodologi) di dalam beragama atau di dalam memahami agama. Dalam upaya tersebut  madzab manhaj memiliki langkah kerja sebagai berikut:

Pertama , Kutipan ayat dari mushab dengan rasam usmany  lengkap petunjuk nama surah dan nomor urut  ayat  serta menyertakan terjemah standar eks  Departemen Negara RI, kutipan pula tafsir atas ayat tersebut oleh mufassir sunni di tafsir yang tergolong mu’tabar

Kedua, Penukilan matan sunnah atau hadist  harus berasal dari kitab usulul hadist(kitab hadist standar) dan mencamtumkan narasumber atau  periwayat serta data hasil  kehujjahannya sebagai sohih,hasan,atau dhoif.

Ketiga,  Pengutipan ijma  perlu memisahkan kategori  ijma sahabi yang diakui tertingi mutu kehujahanya dari ijma mujtahidin.



D.    2. Ruang lingkup manhaj

Yang telah terbukti menempuh metodologi yang benar di dalam beragama adalah Rasulullah yang diikuti para sahabat, terutama para Khulafaur Rasyidin. Sebab, jalan hidup dan pemahaman mereka terhadap Islam sesuai dengan jalan hidup dan pemahaman Rasulullah SAW. Bahkan, mereka beragama di atas ittiba’ ( mengikuti jalan hidup) secara total terhadap Rasulullah SAW, sehingga Sunnah mereka menjadi pedoman sebagaimana Sabda Nabi SAW:
” Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang  teguhlah  kepada Sunnahku dan Sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara  baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang  bid’ah adalah sesat.” ( HR. Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ Fatawa ( 1/182) berkata:

“Sunnah para Khulafaur Rasyidun yang mereka laksanakan atas perintah Nabi berarti termasuk Sunnahnya karena tidak ada di dalam agama suatu kewajiban, kecuali yang telah beliau wajibkan, tidak ada keharaman kecuali perkara yang diharamkannya, tiada perkara Sunnah melainkan sesuatu yang telah diSunnahkannya, dan tiada perkara makruh kecuali yang dimakruhkannya serta tiada sesuatu yang mubah melainkan yang telah beliau anggap mubah.”

Pada hakikatnya jalan hidup para sahabat adalah jalan hidup Rasulullah SAW karena orang yang paling semangat di dalam mengamalkan Sunnah Nabi SAW dan paling menjauhkan diri dari perkara-perkara bid’ah sekecil apapun.

Abdullah bin Mas’ud RA berkata:

“Barangsiapa di antara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para  sahabat  Rasulullah SAW  karena  sesungguhnya  mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit bebannya, dan paling lurus petunjuknya, serta paling baik keadaannya. ( Mereka ) adalah suatu kaum yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan  mereka serta ikutilah mereka di dalam jejaknya, karena mereka berada di jalan yang benar dan lurus.” ( Ibnu Abdul Bar di dalam Jami Bayanil Ilmi wa Fadhluhu).

E.     Ahlussunnah Waljamaah sebagai Manhaj al-fikr

Berbagai problem yang dihadapi ideologi  Ahlussunnah Waljamaah, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti Ahlussunnah Waljamaah. Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami Ahlussunnah Waljamaah. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya atau bersifat umum. Hal ini bisa dilihat  dari nilai- nilai dasar Ahlussunnah Waljamaah yakni tawasut, tawazun, tasamuh dan I’tidal.

Para ulama sepakat bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai manhaj al-fikr, Aswaja berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat  tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah)  dan golongan Ahli Hadits.

Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, Pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, Namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.

Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain.

F.       Kedudukan Qoul dan Manhaj

Aswaja memiliki pokok  ajaran yang sudah tidak di ragukan lagi kebenaranya yaitu al quran, al hadist serta ijma dan qiyas aswaja sangat relevan terhadap situasi zaman yang terus berkembang semakin berubahnya zaman maka semakin banyak pula penyimpangan penyimpangan ajaran yang merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan, dan semakin banyak pula masalah-masalah dalam masyarakat islam disitulah peran qoul dan manhaj dalam memberi solusi masalah masalah tersebut, namun tetap berhaluan pada dasar pokok islam yaitu alquran dan hadist

Qoul (pendapat para ulama) yang apabila qoul itu kuat dalam kesahihannya dalam aswaja akan di jadikan acuan dalam pemecahan masalah sedangkan madhab yang  pelaksanaanya atau didalamnya juga mengunakan ijma qiyas  dalam ahli sunnah waljamaah khususnya warga nahdlyin menjadi dasar pokok setelah alquran dan hadist .
 Kesimpulan

Qoul menurut  istilah ialah cara pengambilan ketetapan hukum didasarkan pada pendapat imam madzab yang sudah secara tegas disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar. Sedangkan manhaj menurut istilah ialah cara pengambilan ketetapan hukum dengan mengikuti jalan pikiran, kaidah atau metodologi yang dianut oleh seorang imam madzab. Qoul dibagi beberapa macam yaitu qoul qadim, qoul jadid, qoul shahih, qoul ashah, qoul azhhar, qoul rajih, qoul dhaif, qoul syaz dan qoul masyhur.

Sumber hukum yang dipegangi Imam Syafi'i dalam menetapkan hukum adalah Al Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas. Urutan tersebut bersifat hierarki, artinya sumber hukum yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan yang di atasnya. Imam Syafi'i pernah menetap di Baghdad, Iraq. Dan Selama tinggal di sana, ia mengeluarkan  ijtihad-ijtihadnya, yang mana disebut sebagai Qaul Qadim. Karena adanya  pergolakan serta munculnya aliran Mu’tazilah yang ketika itu telah berhasil mempengaruhi  Kekhalifahan. Akhirnya Imam Syafi’i pindah ke Mesir, ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan masalah sebelumnya (ketika tinggal di Baghdad). Imam Syafi’I kemudian mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru, yang dinamakan sebagai Qaul Jadid. Daerah atau negara yang Menganut Mazhab mayoritas  Syafi’I : Libia, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Palestina, Yordania, Libanon, Siriya, Irak, Hijaz, Pakistan, India Jaziraa, dll.

Berbagai problem yang dihadapi ideologi  Ahlussunnah Waljamaah, kiranya metode yang satu ini menawarkan sedikit jalan keluar. Meski masih tetap mengikuti Ahlussunnah Waljamaah. Karenanya, harus ada cara pandang baru dalam memahami Ahlussunnah Waljamaah. Bahwa dalam setiap ajaran (doktrin) punya nilai substansi yang sifatnya lintas batas karena universalitasnya atau bersifat umum. Hal ini bisa dilihat  dari nilai- nilai dasar Ahlussunnah Waljamaah yakni tawasut, tawazun, tasamuh dan I’tidal.
Saran

Membuka wacana berfikir secara ilmiah tentang pengertian manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah merupakan tuntunan yang lazim, sehingga umat memiliki wawasan komprehensif ( menyeluruh) terhadap hakikat dan kedudukan Ali Sunnah wal Jama’ah.

Apabila  gerakan pencerahan dan penyadaran umat tentang pengetahuan agama Islam secara universal dan komprehensif menjadi prioritas utama, maka umat diberi bekal yang cukup mengenai prinsip-prinsip Ahli Sunnah di dalam beragama. Apabila ketika seorang muslim dihadapkan dengan perang peradaban dan budaya dari berbagai bentuk aliran pemikiran dan gerakan penyesatan serta usaha pemurtadan, seperti : Khawarij, Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyah, Qadianiah, Murji’ah, Jabriyah, Kebatinan, Tasawwuf, Sekulerisme, Islam Liberal, dll, yang terkadang lahir dengan kemasan dan format baru untuk mengecoh dan menipu orang awan. Sehingga pembekalan terhadap ummat tentang Manhaj yang haq ini menjadi hal yang amat penting.

DAFTAR PUSTAKA

Hasyim, Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logos, Jakarta :  1999.

KH. Husin, Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang Toleran dan Anti  Ekstrim, dalam Imam Baehaqi, Kontroversi ASWAJA, LkiS, Yogyakarta:1999.

Badri, Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Jaya:2001.

Tim PWNU Jatim,Aswaja An Nadliyah,Khalista,Surabaya,:2007.

Syakir,K.H.U. Balukia,Ahlussunah Waljama’ah,Sinar Baru,Bandung:1992.

Bagikan ke

300x250

2 Responses to "KEDUDUKAN QOUL DAN MANHAJ DALAM ASWAJA"

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Apa hukumx beramal dg qaul qadim tntng air yg suci lg mnsucikan(tdk hrs smpai 2kullah slma tdk mrubah airx)

    BalasHapus

© 2013 Steven sahid - All Rights Reserved
Back to Top