A. Pendahuluan
Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak dijabarkan oleh Rasulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil subtansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah merupakan kontrak Rasulullah bersama komunitas Madinah, yang berbea-beda suku dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah menjadi konsitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan perbedaan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian bersama.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya mejadi perbedaan sengit di kalangan pemikir politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti Rasulullah, membuktikan bahwa sejak awal karakter yang diperlihatkan umat islam begitu serius dalam membicarakan persoalan politik. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin begitu alot berdebat di Saqifah Bani Saidah kerena masing-masing kelompok merasa layak menjadi pengganti Rasulullah.
Kemudian bebagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat Islam. Proses pergantian kekuasaan yang tidak sama di masing-masing periode kekuasaan telah memunculkan perbedaan tentang mekanisme apa yang seharusnya dilakukan untuk mengganti penguasa. Perbedaan ini menyangkut mekanisme dan sistem politik yang dipraktikkan oleh Islam.
Lalu bagaimana suasana politik Islam pada masa al-Khulafa ar-rasyidun, adakah perbedaan antara politik islam periode Abu Bakar, Umar, Ustsman dan Ali. Makalah ini akan membahas hal-hal tersebut.
B. Ketatanegaraan pada masa Khilafah Rasyidah
Dalam khazanah politik islam dikenal istilah Khilafah Rasyidah atau Khulafau Rasyidun. Khalifah Rasyidah itu mnunjukan pada masa dan sistem kepemiminan yang lurus, umumnya di alamatkan pada pemerintahan islam pasca Nabi Muhammad SAW khususnya pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sistem Khilafah Rasyidah atau Khulafau Rasyidun, diyakini oleh kaum muslimin bahwa sistem pemerintahan dan para pemimpinnya lurus, adil, benar dan tidak ada kekeliruan dan kesalahan.
Di kalangan umat Islam, sifat dan perilaku lurus, adil, benar, dan tidak tercela itu tidak hanya dialamatkan kepada Khulafau Rasyidun, tetapi juga semua sahabat Nabi. Disebutkan bahwa kalangan Ahlu Sunnah telah sepakat untuk menempatkan semua sahabat Nabi itu adil. Para sahabat Nabi Muhammad diyakini telah berjasa besar dalam mendukung risalah Islamiyah dan menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi. Di samping itu, mereka semua diyakini telah mendapat ridha dari Allah, sehingga di belakang nama mereka sering ditambahkan kalimat radiyallahu anhum.
1. Pemerintahan Abu Bakar
Pemikiran politik Islam berkembang secara luas tak lain karena berbagai peristiwa penting sejak dijabarkan oleh Rasulullah, yang menyangkut kehidupan internal umat islam dan hubungan dengan kelompok agama dan suku lain dalam membangun Madinah. Praktik kehidupan Rasulullah bersama para sahabatnya di Madinah telah membuka jalan baru bagi umat islam untuk mengambil subtansi ajaran sosial dan politik. Piagam Madinah merupakan kontrak Rasulullah bersama komunitas Madinah, yang berbea-beda suku dan agama untuk membangun Madinah dalam pluralitas. Tidak lain, Piagam Madinah menjadi konsitusi pertama yang secara brilian mampu menempatkan perbedaan suku dan agama dinaungi dalam perjanjian bersama.
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, muncul peristiwa penting, yakni pertemuan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang membicarakan siapa pengganti Rasulullah di Saqifah yang pada gilirannya mejadi perbedaan sengit di kalangan pemikir politik islam tentang siapa yang berhak menggantikan rasulullah dalam kepemimpinan agama dan politik. Permasalahan awal setelah wafatnya Rasulullah tentang siapa pengganti Rasulullah, membuktikan bahwa sejak awal karakter yang diperlihatkan umat islam begitu serius dalam membicarakan persoalan politik. Sehingga antara kaum Anshar dan Muhajirin begitu alot berdebat di Saqifah Bani Saidah kerena masing-masing kelompok merasa layak menjadi pengganti Rasulullah.
Kemudian bebagai peristiwa politik dalam proses penggantian kekuasaan yang diperlihatkan oleh Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib menjadi sejarah penting bagi umat Islam. Proses pergantian kekuasaan yang tidak sama di masing-masing periode kekuasaan telah memunculkan perbedaan tentang mekanisme apa yang seharusnya dilakukan untuk mengganti penguasa. Perbedaan ini menyangkut mekanisme dan sistem politik yang dipraktikkan oleh Islam.
Lalu bagaimana suasana politik Islam pada masa al-Khulafa ar-rasyidun, adakah perbedaan antara politik islam periode Abu Bakar, Umar, Ustsman dan Ali. Makalah ini akan membahas hal-hal tersebut.
B. Ketatanegaraan pada masa Khilafah Rasyidah
Dalam khazanah politik islam dikenal istilah Khilafah Rasyidah atau Khulafau Rasyidun. Khalifah Rasyidah itu mnunjukan pada masa dan sistem kepemiminan yang lurus, umumnya di alamatkan pada pemerintahan islam pasca Nabi Muhammad SAW khususnya pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Dalam sistem Khilafah Rasyidah atau Khulafau Rasyidun, diyakini oleh kaum muslimin bahwa sistem pemerintahan dan para pemimpinnya lurus, adil, benar dan tidak ada kekeliruan dan kesalahan.
Di kalangan umat Islam, sifat dan perilaku lurus, adil, benar, dan tidak tercela itu tidak hanya dialamatkan kepada Khulafau Rasyidun, tetapi juga semua sahabat Nabi. Disebutkan bahwa kalangan Ahlu Sunnah telah sepakat untuk menempatkan semua sahabat Nabi itu adil. Para sahabat Nabi Muhammad diyakini telah berjasa besar dalam mendukung risalah Islamiyah dan menyebarkannya ke seluruh penjuru bumi. Di samping itu, mereka semua diyakini telah mendapat ridha dari Allah, sehingga di belakang nama mereka sering ditambahkan kalimat radiyallahu anhum.
1. Pemerintahan Abu Bakar
Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah merupakan awal terbentuknya pemerintahan model khilafah dalam sejarah Islam. Ia disebut lembaga pengganti kenabian dalam memelihara urusan agama dan mengatur urusan dunia untuk meneruskan pemerintahan Negara Madinah yang terbentuk di masa Nabi. Pengangkatannya untuk memangku jabatan tersebut, merupakan hasil kesepakatan antara kaum Ansar dan kaum Muhajirin dalam musyawarah mereka di Tsaqifah Bani Saidah. Musyawarah itu sendiri diprakarsai oleh kaum Ansar secara sepontan sehari setelah wafat Rasulullah SAW. Sikap spontanitas meraka ini menunjukan mereka lebih memiliki kesadaran politik dari pada kaum Muhajirin untuk memikirkan siapa pengganti Rasul dalam memimpin umat Islam. Bahkan Umar bin Khattab ketika mendengar wafatnya Rasul, tidak yakin hal itu terjadi.
Pemilihan Abu Bakar, tidak didasarkan pada sistem keturunan, atau karena keseniorannya, dan atau karena pengaruhnya. Tapi karena beliau memiliki kapasitas pemahaman agama yang tinggi, berakhlak mulia, dermawan dan paling dahulu masuk Islam serta sangat dipercaya oleh Nabi. Seandainya pemilihan didasarkan pada keturunan, kesenioran dan pengaruh tentulah mereka akan memilih Saad bin Ubadah, pemimpin golongan Khazraj, atau Abu Sufyan, pemimpin Bani Umayah, dan atau Al-Abbas, pemuka golongan Hasyimi. Mereka ini lebih senior dan berpengaruh dari Abu Bakar.
Dapat pula ditambahkan, pertemuan politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam. Suatu peristiwa yang mengikat mereka tetap berada dalam satu kepemimpinan pemerintahan, sebagai penerus pemerintahan Rasul. Dan terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya pemerintahan sistem Khalifah dalam islam, yang terkenal dengan Khilafah al-Rasyidin. Sistem ini berlangsung hingga awal abad XX dengan corak yang berlainan.
Setelah dikukuhkan oleh umat manjadi Khalifah, Abu Bakar menyampaikan pidato penerimaan jabatannya itu di Masjid Nabawi:
“Wahai manusia, sungguh aku telah memangku jabatan yang kamu percayakan, padahal aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku dengan baik maka bantulah aku, dan jika aku berbuat salah maka luruskanlah aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan kedustaan adalah suatu penghianatan. Orang yang lemah di antara kamu adalah orang kuat bagiku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang yang kuat di antara kamu lemah bagiku hingga aku mengambil haknya, Insya Allah. Janganlah salah seorang dari kamu meninggalkan jihad. Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad, maka Allah akan menimpakan atas mereka suatu kehinaan. Patuhilah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya, maka sekali-kali janganlah kamu mentaatiku. Dirikanlah shalat, semoga Allah merahmati kamu”
Pidato ini menggambarkan garis politik dan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan Abu Bakar dalam pemerintahannya. Di dalamnya ia menggariskan beberapa hal penting: menjamin kebebasan pendapat bagi rakyat untuk mengritiknya bila ia tidak benar dalam memerintah, menuntut ketaatan dari rakyat selama ia taat kepada Allah dan Rasul, mewujudkan keadilan dengan memberikan hak-hak orang lemah dan mengambil hak-hak orang kuat unuk melaksanakan kewajiban mereka bagi kepentingan masyarakat dan Negara, dan mendorong umat agar gemar berjihad dan mendirikan salat sebagai salah satu inti dari takwa.
Di dalamnya juga tergambar bahwa Abu Bakar bertekad akan melaksanakan prinsip-prinsip pemerintahan yang telah dilaksanakan oleh pendahulunya, Nabi Muhammad SAW. Yaitu melaksanakan syariat islam, melaksanakan musyawarah, menjamin hak-hak umat secara adil, memelihara ketaatan rakyat kepada pemerintah secara limitatif selama pemerintahan taat kepada Allah dan Rasul, melaksanakan amar makruf dan nahi munkar serta mendorong terwujudnya kehidupan takwa.
Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya. Ada beberapa faktor yang mendorong Abu Bakar untuk menunjuk atau mencalonkan Umar menjadi Khalifah, faktor utama adalah kekhawatirannya akan terulang kembali peristiwa yang sangat menegangkan di Tsaqifah Bani Saidah yang nyaris menyeret umat Islam ke jurang perpecahan, bila ia tidak menunjuk seseorang yang akan menggantikannya. Pada saat itu antara kaum Ansar dan Muhajirin saling mengklaim sebagai golongan yang berhak untuk menjadi Khalifah.
Dari penunjukan Umar ada beberapa hal yang perlu di catat:
a. Bahwa Abu Bakar dalam menunjuk Umar tidak meninggalkan asas musyawarah. Ia lebih dulu mengadakan konsultasi untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin.
b. Bahwa Abu Bakar tidak menunjuk salah seorang putranya atau kerabatnya melainkan memilih seorang yang punya nama dan mendapat tempat di hati masyarakat serta disegani oleh rakyat karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
c. Bahwa pengukuhan Umar menjadi Khalifah sepeninggalan Abu Bakar berjalan dengan baik dalam satu baiat umum dan terbuka tanpa ada pertentangan di kalangan kaum muslimin, sehinnga obsesi Abu Bakar untuk mempertahankan keutuhan umat Islam dengan cara penunjukan itu, terjamin.
2. Pemerintahan Umar bin Khattab
Umar bin Khattab diangkat sebagai Khalifah melalui surat wasiat yang dibuat oleh Abu Bakar. Pengangkatan Umar ini diterima dengan baik oleh semua umat islam ketika itu, meskipun sebagian ada yang merasa keberatan kerena sikap keras Umar. Menurut Syibli, Umar meletakkan dasar-dasar suatu negara demokrasi, dan walaupun disebabkan oleh kondisi-kondisi khas zaman itu prinsip tersebut tidak dapat dikembangkan dalam semua aspek dan implikasinya, syarat-syarat yang esensial bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis telah dilahirkan. Yang paling vital dan fundamental dari semuanya adalah pembentukan majelis permusyawaratan. Majelis ini dibentuk sebagai tempat konsultasi dan untuk memecahkan masalah-masalah penting yang dihadapi umat, sehingga Umar pernah berkata kekhalifahan adalah tidak sah tanpa konsultasi atau tidak tidak ada khilafah tanpa konsultasi, dan ia menempatkan diri sebagai seorang demokrat sejati, ketika ia berkata: “aku telah menyulitkanmu untuk berkumpul disini agar kalian bisa ikut serta memikul bebanku mengenai negara, karena aku hanyalah salah seorang dari antara kalian, dan aku tidak ingin bahwa kalian supaya menuruti kemauan-kemauanku”.
Dalam hal penunjukan pejabat dan pegawai-pegawai Negara, Umar dianggap memiliki kearifan dan pengertian yang mendalam serta kenegarawanan yang tidak ada persamaannya dalam sejarah, khususnya dalam menilai kapabilitas orang. Di samping itu secara pribadi ia telah mengenal semua yang patut dihargai di Negeri itu. Dengan demikian, maka orang-orang yang ditunjuknya untuk meduduki berbagai pos biasanya adalah orang-orang terbaik yang ada untuk jabatan itu. Namun demikian, tidak semua pejabat-pejabat pemerintahan itu ditunjuk langsung oleh Umar. Ada pula yang diangkat melalui pemilihan secara terbuka dalam majelis permusyawaran, terutama untuk jabatan-jabatan penting dan strategis.
Umar bin Khattab menjabat Khalifah selama 10 tahun, 6 bulan, 4 hari. Berbeda dengan Abu Bakar, hanya menjalankan kekhalifahan dalam waktu yang relatif singkat, Umar pada masa pemerintahannya cukup banyak hal-hal baru yang ditempuhnya.
Menjelang akhir pemerintahannya dan juga akhir hayatnya, Umar bin Khattab membentuk dewan formatur, yang anggotanya terdiri dari, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awam, Abdurahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqas. Di samping keenam orang ini, Umar juga menunjuk Abu Thalhah al-Anshari dari suku Khazraj sebagai pelaksana perintahanya. Ia disuruh mengambil lima puluh orang anggota sukunya dengan pedang di tangan untuk menjaga di pintu majelis pertemuan. Ketentuan tentang pemilihan Khalifah pengganti ditetapkan Umar di antaranya Khalifah yang akan dipilih haruslah anggota dari dewan formatur itu.
Dewan formatur yang dibentuk Umar ini kemudian berhasil melaksanakan tugasnya, yakni terpilihlah Usman bin Affan.
3. Pemerintahan Usman bin Affan
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Usman melaksanakan dan meneruskan kebijakan-kebijakan yang sudah ditempuh oleh Nabi Muhammad, Abu Bakar dan Umar, sesuai dengan janji yang diminta Abdurrahman bin Auf ketika akan dibai’at, dan berjalan cukup efektif khususnya pada masa enam tahun pertama pemerintahannya. Di samping melanjutkan kebijakan Abu Bakar dan Umar, banyak pula hal lain yang dilakukan selama masa-masa ini seperti perluasan wilayah, penaklukan-penaklukan, perluasan masjid, pembangunan sarana-sarana umum, penyusunan mushaf, dan lain-lain. Namun seiring dengan perjalanan waktu, Usman mulai “di kelilingi dan dikendalikan” kaum kerabatnya terutama kalangan Bani Umayyah, para kaum thulaqa yang masuk islam dalam kondisi tidak berdaya berhadapan dengan pasukan Rasulullah yang sedang berada dalam puncak keberhasilannya pada waktu fathu Makkah. Sebagian besar para petinggi yang memangku jabatan pada masa pemerintahan Usman adalah mereka yang meskipun sudah menganut islam, namun belum sepenuhnya terbebas dari “karat ashabiyah” sukunya, di antaranya Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Walid bin Uqbah bin Mu’ith, dan Marwah bin Hakam bin al-Ash.
Karena kebijakan Usman dalam menjalankan pemerintahan diarahkan dan dikendalikan mereka, maka banyak yang menyimpang dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul yang akibatnya membawa malapetaka bagi umat islam bahkan bagi Usman sendiri.
Karakter masyarakat Arab pada umumnya adalah hidup berkelompok yang diikat oleh semangat ashabiyah kesukuan, nasab, dan ras. Dengan kehadiran islam sebenarnya ikatan ashabiyah itu sudah digantikan dengan ikatan keimanan sehingga terjalin ukhuwah islamiyah. Meskipun demikian, ikatan ashabiyah tersebut belum sepenuhnya lenyap bagi sebagian orang khususnya bagi mereka yang baru memeluk islam atau bagi mereka yang menganut islam bukan atas dorongan keimanan. Hal ini terbukti dengan masih munculnya dorongan ashabiyah itu diantaranya tawaran Abu Sufyan kepada Ali untuk membai’atnya dan merebut kekuasaan dari Abu Bakar, namun ditolak Ali karena Ali mengetahui bahwa tawaran itu didasarkan pada ashabiyah yang justru ingin diberantas dan dikubur oleh Rasulullah, dan ucapan pemimpin suku Bani Ghathafan yang membela Thulaihah selaku Nabi palsu dengan mengatakan “Demi Allah, aku lebih suka mengikuti seorang Nabi dari sekutu-sekutuku dari pada mengikuti seorang Nabi dari suku Quraisy.”
Abu Bakar dan Umar sangat paham karakter masyarakat Arab yang masih menyimpan semangat ashabiyah, karena itu selama masa pemerintahannya keduanya tidak memberikan jabatan pada keluarga dan kerabat-kerabatnya. Mereka meniru Rasulullah SAW yang dalam masa pemerintahannya tidak pernah menunjuk salah seorang dari Bani Hasyim untuk menduduki suatu jabatan dengan pengecualian Ali bin Abi Thalib. Karena itu, fanatisme kesukuan tidak pernah memperoleh kesempatan untuk mengangkat kepalanya. Namun Usman bin Affan ketika menggantikan kedudukan Umar, mulai menyimpang dari kebijaksanaan ini. Sedikit demi sedikit ia mulai menunjuk sanak kerabatnya untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka diberi keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya protes-protes dan kritikan-kritikan rakyat secara umum. Penunjukan sanak kerabat Usman untuk menduduki jabatan pemerintahan dilakukan Usman khususnya pada pertengahan masa pemerintahannya, sedangkan sebelumnya hampir semua pihak setuju dan puas dengan kebijakan Usman bin Affan, yang tidak mengubah pemerintahannya dengan sistem lain dari pada yang sudah dijalankan oleh Umar.
Ketika kekuasaan itu telah berpusat di satu tangan, maka berlakulah adagium Lord Acton: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely”. Para pejabat pemerintahan Usman banyak melakukan tindakan sewenang-wenang, yang menimbulkan ketidakpuasan dan protes rakyat banyak serta menimbulkan keprihatinan para sahabat senior terutama para ahli Badar. Nasihat Ali bin Abi Thalib tidak digubris. Protes Abu Dzar al-Ghiffari terhadap perilaku pejabat bani Umayah malah dituduh meresahkan umat dan berakhir dengan pengucilan dan pembuangan oleh khalifah Usman ke Rabadzah dan meninggal dunia di tempat pengasingan ini. Sesungguhnya yang menimbulkan protes bagi rakyat dan para sahabat senior bukan semata-mata penumpukan kekuasaan pada keluarga Bani Umayah, tetapi karena perilaku para pejabatnya yang banyak bertentangan dengan ajaran islam.
Demikianlah Khalifah Usman bin Affan yang dikenal jujur, sederhana, dermawan, lemah lembut dan tidak mau bertindak tegas, wafat di tangan kaum pemberontak. Sifatnya yang lemah lembut itu ternyata dimanfaatkan oleh baik lawan maupun kaum kerabatnya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
4. Ali bin Abi Thalib
Setelah Usman meninggal dunia, ketika itu tiada pilihan lain kecuali Ali bin Abi Thalib. Secara aklamasi, Ali dibai’at oleh anggota dewan formatur bentukan Umar yang masih ada, kemudian diikiuti secara umum oleh umat islam di Masjid Nabawi. Meskipun pada awalnya Ali keberatan dan tampak ragu-ragu menerima kepemimpinan, namun demi kemaslahatan umat, Ali menerimanya sebagai suatu amanat yang harus dipikul. Segera setelah memegang tampuk kepemimpinan, naluri dan visi idealisme Ali mulai dicanangkan. Ali menyingkirkan para pejabat korup dan penindas rakyat serta menyelidiki kekayaan baitul maal yang telah diambil secara haram. Ia berupaya menegakan kembali “al-Khithah al-Mabrukah” yang sudah digariskan Rasulullah dan sudah diupayakan secara maksimal oleh Abu Bakar dan Umar, namun sudah terkontaminasi pada separo terakhir pemerintahan Usman. Menegakkan garis kebijakan politik yang diberkahi harus dijauhkan dari berbagai penyimpangan atau sesuatu yang menyimpang potensi untuk menyimpang.
Mengenai pribadi Ali, diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab pernah berkata, jika Ali berkuasa, dia akan membimbing semua orang menuju kebenaran. Namun situasi yang dihadapi Ali pada awal pemerintahannya sangat tidak kondusif. Ali mengawali pemerintahannya dalam situasi yang sulit dan sedang berkecamuknya fitnah atas terbunuhnya Usman. Ali mengambarkan keadaan pada saat ia menjabat khalifah,”kondisi pada saat tersebut kacau balau dan tidak menyenangkan. Pada saat itu orang yang saleh dianggap jahat dan kejahatan kian memuncak. Keadaan ini trjadi karena langit diliputi awan gelap dan petunjuk jalan sudah menghilang. Masyarakat terlibat dalam kekakuan dan sensualitas. Mereka punya telinga tapi tuli, mereka punya mata tapi buta. Mereka tidak tabah dalam pertempuran dan tidak tahan dalam keadaan sulit”.
Ketika pada masa pemerintahannya ada seseorang mengeritik dengan mengatakan,”Dahulu, ketika Abu Bakar dan Umar memerintah, tidak terjadi perpecahan islam seperti ini, tapi berbeda dengan ketika engkau memerintah”, Ali menjawab,”Dahulu Abu Bakar dan Umar memerintah orang seperti aku, sedangkan sekarang aku memerintah orang seperti kamu”. Bagi Ali, situasi masyarakat di awal masa khilafahnya, sama seperti situasi pada masa sebelum Islam. Pada awal pemerintahannya, Ali berupaya mempersatukan ukhuwah Islamiyah yang telah retak. Beliau berusaha untuk membimbing manusia menuju akhirat, tetapi mereka mengarah menuju dunia. Beliau bermaksud mengarahkan mereka kepada Allah, tetapi materi menguasai mereka. Beliau, sepanjang masa kekhalifahannya, hidup dalam pertarungan melawan hawa nafsu, aneka godaan syahwat, dan dunia yang tercermin dalam diri Mu’awiyah.
Sejak awal pemerintahannya sampai akhir hayatnya, Ali selalu dihadapkan pada pertentangan dan peperangan. Meskipun demikian, Ali berusaha menjalankan pemerintahannya sesuai dengan sunnah Rasul, melanjutkan kebijakan yang baik dari para khalifah sebelumnya, memberikan khotbah-khotbah tentang ilmu agama, retorika, falsafah dan tentang kewajiban manusia kepada Tuhan. Ali juga masih sempat memperkenalkan dan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, mengatur keamanan negara, membentuk lembaga-lembaga seperti lembaga keuangan umum, pengadilan, tentara, dan sebagainya.
Ali bin Abi Thalib menjabat khalifah selama 4 tahun, 9 bulan, 8 hari. Dalam rentang waktu pemerintahannya itu, Ali menjalankan kekhalifahannya dengan banyak pertentangan dan melakukan peperangan. Akhirnya, sebagaimana yang sudah dinubuwahkan oleh Rasul SAW. Yang telah disebutkan di atas, ’Engkau, sepeninggalanku akan berperang melawan para pelanggar bai’at (naqitsun: perang jamal), para penindas (qasithun: perang Shiffin), dan orang-orang yang menyimpang (mariqun, perang nahrawan).
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2009
Djazuli, Ahmad, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Jakarta,Kencana,2003
Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta, Kencana, 2000
Ibnu Syarif, Mujar dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Erlangga, 2008
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 1995
Ridwan, Fiqih politik, Yogyakarta, FH UII Pres, 2007
Salim, Muin, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 1995
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2011
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2009
Djazuli, Ahmad, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Jakarta,Kencana,2003
Djazuli, Fiqh Siyasah, Jakarta, Kencana, 2000
Ibnu Syarif, Mujar dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Erlangga, 2008
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 1995
Ridwan, Fiqih politik, Yogyakarta, FH UII Pres, 2007
Salim, Muin, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 1995
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2011
0 Response